Sekolahnya manusia

Melewati bulan Juni - Juli beberapa orang tua mulai ribut dengan urusan memilih sekolah untuk anak di jenjang manapun, untuk kemudian menetapkan strategi apa yang perlu dipersiapkan anak dan orang tuanya untuk masuk sekolah tersebut.
Betapa banyak sekolah yang mengaku favorit, dan menetapkan standar masuk yang tinggi kemudian terbukti tidak manusiawi dalam mendidik anak kita. Mulai dari SD sampai SMU. Anak kita yang di awal kehidupannya adalah seorang juara, dengan default factory setting bermodal mental climber, perlahan-lahan dirubah menjadi manusia setengah robot dengan hati dan mental yang kerdil, lewat pola ajar dalam kelas yang penuh derita. Berkat tekanan kognitif dipadu teacher talking time dan aktivitas kelas yang garing.
Pak Munif mengungkap fakta-fakta tersebut dalam seminar Mencari Sekolahnya Manusia. Maraknya tawuran dan meresahkannya perilaku remaja saat ini, adalah bentuk berontaknya jiwa-jiwa di dalam diri anak bangsa yang penuh tekanan, baik tekanan kognitif dari sekolah, pola asuh di rumah yang tidak mendukung plus pergaulan yang bermasalah.
Hasilnya, ketika genap pendidikan mereka di Perguruan Tinggi mereka jadi manusia pas-pasan, kalah saing di bursa tenaga kerja, tidak cukup kreatif, innovatif dan produktif untuk jadi pengusaha. Mentalnya kropos menghadapi kompetisi hidup dan gamang untuk melangkah. Walaupun pendidikan mereka terbilang tinggi, selesai S1 atau S2.
How Come..?? Bagaimana mungkin itu semua terjadi tanpa kita para ortu menyadarinya. Karena kita adalah murni hasil didikan sistem yang sama. Jadi kalau ada penolakan dari anak, baik dalam bentuk pemberontakan di dalam kelas, nilai-nilai yang tidak standar atau PR yang tidak diselesaikan, maka yang dianggap salah adalah anaknya. Ortu dengan serta merta berusaha memacu performance anak di kelas dengan segala cara yang ortu ketahui demi memompa prestasi belajarnya.
Tanpa pernah menggali dari pihak anak apa sih sebenarnya masalah dan kesulitan mereka, apa keinginan dan harapan mereka terhadap Guru, Kelas, Sekolah dan Ortunya. Kemudian berjuang memperbaiki habitat anak di sekolah dan di rumah agar anak bisa lebih bahagia dan produktif. Menurut Pak Munif umumnya sekolah yang ada saat ini hanya mampu menghasilkan genarasi Camper dan Quitter. Sungguh untuk membangun generasi Climber peran yang dilakoni sekolah pada umumnya harus direformasi. Karena sekolah berkualitas mengkontribusi 75% modal seorang Climber.
Menurut Pak Munif, apapun kondisinya anak kita tetap membutuhkan adaptasi dengan lingkungan pergaulan di sekolah, termasuk menghadapi tekanan kondisi yang tidak selalu sama dengan diri mereka dan pergaulan yang buruk. Alih-alih menjauhkan anak kita dari pergaulan yang buruk, sebaiknya anak kita dididik dengan Character Building yang baik, sehingga dapat menjadi agent of change dan menginfluence lingkungan yang buruk jadi lebih baik lewat kehadirannya.
Sekolah di Jakarta saja banyak yang belum siap dengan melesatnya kemampuan otak calon murid SD berkat berkembangnya stimulasi tumbuh kembang anak pada pola asuh di rumah dan konsep TK modern. Akibatnya menurut Mba Yanti DP, banyak alumni TKnya yang mengalami tekanan di SD akibat berkembangnya otak mereka melebihi kemampuan guru kelas 1 SD mengakomodasi. Ada alumni mulutnya di lakban karena kebanyakan bicara . Ada juga yang diancam dengan gunting, karena tidak bisa duduk manis. Tidak heran Indonesia ada diperingkat keempat dari bawah dalam hal kualitas pendidikan dari 106 negara. Masya Allah…
Maka seminar Pak Munif tentang tips mencari sekolahnya manusia penting untuk diperhatikan. Ada 8 poin yang harus dimiliki sebuah sekolah untuk disebut Sekolahnya Manusia yaitu :
1. Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani dengan Agama dan Akhlak, memiliki 60% muatan agama dalam koridor Character Building, yang masuk bersama-sama materi Umum. Agama bukan sebagai pelajaran bermuatan kognitif tapi lebih ke pengelolaan akhlak lewat Character Building.
2. Sekolah berperan sebagai Agent of Change, mampu merubah kondisi awal siswa yang negatif menjadi positif. Cirinya sekolah ini tidak akan memakai perangkat serentetan tes masuk. Melainkan memakai Multiple Intelegence Research. Siapa saja diterima di sekolah ini, bukan hanya yang ‘dianggap’ bodoh dan nakal, tetapi juga yang dianggap memiliki keterbatasan fisik atau kemampuan otak seperti cacat fisik, CP, autis dsb.
3. Sekolah memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Belajar dengan cara yang menyenangkan, 30% Teacher Talking Time, sisanya 70% siswa belajar dengan active learning. Learning Style = Teaching Style, hasilnya pelajaran jadi mudah dan menyenangkan. Jauhkan kesan kelas sebagai penjara terkejam, yang hanya mampu menghasilkan manusia bermental robot.
4. Sekolah memiliki the best teachers. Guru menjadi katalisator dasn fasilitator proses transfer knowledge yang asyik. Guru terhindar dari Virus 4T, penyebab Disteachia. Guru mampu membuat Lesson plan yang sesuai dengan learning style murid-muridnya.
5. Terjadi Active Learning. Siswa belajar dengan aktif tidak hanya secara pasif mau tidak mau harus mendengar guru. Hasilnya siswa tidak hanya TAHU APA, tapi juga tahu BISA APA. Menggunakan pendekatan strategi mengajar Multiple Intelegence sesuai kerja otak siswa.
6. Ada Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
7. Mengaplikasikan Pendekatan Multiple Intelegences dan penggunaan MIR, sebagai pemantik kreativitas anak, fasilitator tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan ortu dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Bagi Guru MIR juga dapat dijadikan pijakan dalam pembuatan lesson plan.
8. Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah : 1.Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa, 2.Sifatnya Ability Test bukan Disability Test, 3.Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability, 4.Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, 5.Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran seperta Ujian Akhir yang ada.
Sounds like Sekolahnya Manusia is too good to be true.. Pasti akan muncul pertanyaan di mana adanya sekolah yang manusiawi ini. Apakah membutuhkan biaya yang besar untuk menyekolahkan anak-anak kita di sana..? Jawabannya silahkan mencari tahu di wilayah anda adakah sekolah yang berciri di atas. Karena sekolah terbaik haruslah juga terjangkau dan dekat dari rumah.
Jika sudah terlanjur memasukkan anak di sekolah yang ada atau sekolah negeri apa akhir segalanya…? Tentu tidak, yuk kita tambal kebutuhan belajar anak dari rumah. Demi menjadikan mereka Life Long Learner sejati. Sambil perlahan-lahan membuka dialog dengan sekolah dan menularkan virus positif ini. Get Smarter Everyday..!!
Share on Google Plus

About sukasmo

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 Comments:

Posting Komentar